MALAIKAT HADIRAT TUHAN
"Dan kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami"—Bilangan 13: 33.
Lalu segenap umat itu mengeluarkan suara nyaring dan bangsa itu menangis pada malam itu." Revolusi dan pemberontakan terbuka segera menyusul; karena setan telah berkuasa penuh, dan orang-orang tampaknya kehilangan akal sehat. Mereka mengutuk Musa dan Harun, lupa bahwa Tuhan mendengarkan setiap ucapan jahat mereka, dan bahwa, diselimuti tiang awan, Malaikat hadirat Tuhan menyaksikan luapan murka mereka yang mengerikan. Dalam kepahitan mereka berseru. "Ah, sekiranya kami mati di tanah Mesir! Haruskah kami mati di padang gurun ini!" Dengan ucapan ketidakpuasan mereka, kepahitan mereka tumbuh, sampai mereka mulai mencela Tuhan, dengan berkata, "Mengapakah TUHAN membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan istri serta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?" Dan mereka berkata seorang kepada yang lain: "Baiklah kita mengangkat seorang pemimpin, lalu pulang ke Mesir."
Terluka oleh pemberontakan orang-orang, merasakan besarnya pemberontakan mereka, "sujudlah Musa dan Harun di depan mata seluruh jemaah Israel yang berkumpul di situ." Dan sekali lagi Kaleb dan Yosua mencoba meyakinkan orang-orang itu. Melampaui badai ratapan dan kesedihan yang memberontak, suara mereka yang jelas dan nyaring terdengar, mengatakan: "Negeri yang kami lalui untuk diintai itu adalah luar biasa baiknya. Jika TUHAN berkenan kepada kita, maka la akan membawa kita masuk ke negeri itu dan akan memberikannya kepada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. Hanya, janganlah memberontak kepada TUHAN, dan janganlah takut kepada bangsa negeri itu, sebab mereka akan kita telan habis. Yang melindungi mereka sudah meninggalkan mereka, sedang TUHAN menyertai kita; janganlah takut kepada mereka."
Tetapi bangsa itu tidak mau mendengarkan permohonan yang sungguh-sungguh tersebut. Para pengintai yang tidak setia itu dengan lantang mencela Kaleb dan Yosua, dan ajakan dilontarkan untuk melempari mereka dengan batu. Kerumunan yang kehilangan akal itu mencoba meraih batu-batu untuk membunuh orang-orang yang setia ini. Mereka bergegas maju dengan teriakan kegilaan, namun tiba-tiba batu itu jatuh dari tangan mereka, keheningan menimpa mereka, dan mereka gemetar ketakutan. Tuhan telah menengahi untuk memeriksa rencana pembunuhan mereka. Kemuliaan kehadiran-Nya, seperti cahaya yang menyala-nyala, menerangi tabernakel. Seorang yang lebih perkasa daripada mereka telah menyatakan Diri-Nya sendiri, dan tidak seorang pun berani melanjutkan perlawanannya—Review and Herald, 20 Mei 1902.
Renungkan Lebih Dalam: Pernahkah saya mendukakan Roh Kudus dalam bentuk pemberontakan? Pernahkah kemarahan saya menghentikan berkat Tuhan untuk saya?
Komentar
Posting Komentar