Biasanya ia berjalan kaki bersama orang tuanya.
Namun suatu hari, ketika ia se- dang menunggu orang tuanya ber- siap-siap, Judah punya ide cemer- lang. Ia ingin naik sepeda ke gereja.
Ayah dan ibu telah melarangnya untuk tidak membawa sepeda ke gereja. Mereka mengatakan bahwa ia tidak perlu naik sepeda karena jarak gereja sangat dekat. Mereka juga khawatir akan terjadi kecela- kaan.
Tetapi Judah sangat suka ber- sepeda. Sepeda itu adalah sepeda yang bagus, dicat kuning dengan
garis-garis hitam. Ia berpikir, “Jika saya pergi sekarang, mereka tidak akan tahu. Mereka tidak akan melihat saya.” Ia tidak berpikir apa yang akan terjadi jika orang tuanya melihat sepeda itu di gereja. Dia hanya ingin langsung pergi.
Judah pergi keluar dan dengan amat sangat pelan mendorong se- pedanya ke gerbang depan. Begitu sampai di luar gerbang, dia naik ke atas sepeda. Dia merasa sangat bersemangat. Dia merasa harus pergi ke gereja dengan cepat, jadi dia mengayuh sepedanya secepat mungkin. Ia tidak mengerti meng- apa orang tuanya melarangnya bersepeda ke gereja. Jalannya lurus menanjak dari rumahnya ke gereja.
Ia bahkan tidak perlu berbelok.
Sepertinya tidak berbahaya.
Ketika Judah mengayuh sepeda- nya secepat mungkin ke atas bukit, ia mulai merasa lelah. Dia berhenti sejenak di sebuah persimpangan untuk mengatur napas. Pada saat itu, ia mendengar suara motor besar.
Pengendara sepeda motor itu bahkan tidak mencoba untuk ber- henti. Dia melaju begitu cepat. Saat udah menghentikan sepedanya, sepeda motor itu menabraknya.
Sepeda kuning dengan lis hitam itu hancur. Judah merasa
tidak apa-apa. Ia menoleh ke arah pengendara sepeda motor itu. Dia tidak memakai helm, dan kepalanya berdarah.
Judah melihat darah itu dan merasa takut. “Kalau dia mati, saya akan masuk penjara,” pikirnya. “Jika saya masuk penjara, orang tua saya akan menghabisi saya.” Para tetangga berdatangan.
Seseorang memberikan air kepada pengendara sepeda motor itu. Se- seorang membasuh kepalanya dan bertanya bagaimana perasaannya.
Kemudian seseorang bertanya ke- pada Judah bagaimana kondisinya. “Saya baik-baik saja,” kata Judah.
Kemudian dia mendengar para tetangga berdebat tentang siapa yang menyebabkan kecelakaan itu.
Ada yang mengatakan Judah yang harus disalahkan. Yang lain menga- takan bahwa pengendara sepeda motorlah yang salah. Seseorang berlari ke rumah Judah dan mem- beri tahu orang tuanya.
Sang ayah datang dan memban- tu melerai kerumunan. “Mengapa kamu tidak mende- ngarkan saya?” tanyanya kepada Judah.
Anak itu tidak mengatakan apa- apa. “Jika sesuatu terjadi padamu, apa yang akan ayah dan ibumu lakukan?” Kata sang ayah.
Judah menundukkan kepalanya. “Maafkan aku,” katanya.
Ayah mengambil sepeda yang rusak dan membawanya pulang.
Ibu bertemu dengan keduanya di tengah jalan. Di rumah, ayah, ibu, dan Judah berdoa. “Terima kasih, Tuhan, karena telah menyelamat- kan anakku,” kata ayah.
Kemudian ibu mengobati luka Judah. Dia mengatakan bahwa Judah baik-baik saja.
Namun, malam itu, Judah terbangun dengan rasa sakit di lengannya. Keesokan harinya Judah segera ke rumah sakit dan ternyata dia mengalami patah tulang siku.
Rasanya sakit, tetapi ia menjadi lebih baik setelah beberapa saat.
Pengendara sepeda motornya juga sudah sembuh.
Setelah kecelakaan itu, Judah di- larang mengendarai sepeda sampai ia berusia 16 tahun. Sekarang dia berusia 13 tahun, dan itu sepertinya waktu yang lama untuk menunggu.
Dia mengingat kecelakaan itu seti- ap kali dia berjalan kaki ke gereja.
Dia berharap bahwa dia akan mematuhi orang tuanya. Dia merin- dukan sepedanya. Tetapi dia juga bersyukur kepada Tuhan karena telah melindunginya. “Tuhan menyelamatkan saya,” katanya. “Itu bisa saja jauh lebih buruk. Setiap orang yang melihat sepeda saya yang rusak berkata, ‘Tuhan menyelamatkanmu’.” Sebagian dari Persembahan Sabat Ketiga Belas triwulan ini akan membantu pembangunan sebuah gereja di dekat sekolah Judah di Bengaluru, India. Sekolah Judah berada di kampus yang sama dengan Lowry Adventist College.
Terima kasih telah merencanakan persembahan yang murah hati.
Oleh Andrew McChesney
Komentar
Posting Komentar