KASIH ALLAH TIDAK TERUKUR SEPERTI LANGIT



 KASIH ALLAH TIDAK TERUKUR SEPERTI LANGIT 

'Beginilah firman TUHAN: Sesungguhnya, seperti langit di atas tidak terukur dan dasar-dasar bumi di bawah tidak terselidiki, demikianlah juga Aku tidak akan menolak segala keturunan Israel, karena segala apa yang dilakukan mereka, demikianlah firman TUHAN' (Yeremia 31:37).

Pelangi yang membentang di langit dengan lengkungan cahayanya adalah suatu tanda dari "perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup." Dan pelangi yang melingkari takhta di surga juga adalah tanda bagi anak-anak Allah mengenai Perjanjian damai-Nya. Sebagaimana pelangi di awan merupakan hasil perpaduan sinar matahari dan hujan, demikianlah pelangi di atas takhta Allah menggambarkan persatuan rahmat dan keadilan-Nya— Seri Membina Keluarga, jld. 3, hlm. 103.

Tetapi kuasa Allah masih terus dijalankan untuk memelihara benda-benda ciptaan-Nya. Bukan oleh sebab mekanisme yang sekali saja digerakkan lalu terus-menerus bekerja dengan tenaganya sendiri sehingga nadi berdenyut, dan napas dihirup berulang-ulang. Setiap hirupan napas, setiap denyutan jantung, merupakan bukti pemeliharaan-Nya oleh siapa kita hidup dan bergerak serta memiliki wujud kita. Dari serangga yang terkecil sampai kepada manusia, setiap makhluk yang hidup setiap hari bergantung atas pemeliharaan-Nya .... Kuasa besar yang bekerja di seluruh alam dan menopang segala sesuatu bukanlah, seperti yang beberapa orang ilmuwan nyatakan, hanya sekadar suatu prinsip yang meliputi semuanya, suatu tenaga yang bekerja. Allah adalah Roh; namunIaadalah suatu Oknum, karena manusia diciptakan menurut gambar-Nya .... Sebagai pribadi JuruselamatIamenjadi pengantara dalam pengadilan surga. Di hadapan takhta Allah bekerja demi keselamatan kita "seorang seperti Anak Manusia"—Seri Membina Keluarga, jld. 3, hlm. 117-119.

Hanya kasih yang mengalir dari hati Kristus yang dapat menyembuhkan. Hanya ia pada siapa kasih mengalir, seperti getah dalam batang pohon atau darah dalam tubuh, dapat memulihkan jiwa yang terluka—Seri Membina Keluarga, jld. 3, hlm. 102.


Komentar