Berita Mission Sabat 5 | 30 April | Namibia Ocrhain Matengu, 31 Tahun - Sampai Berjumpa di Seberang Sana

Sampai Berjumpa di Seberang Sana

Ayah tiri saya mengamuk saat dia pulang kerja. “Maria!” dia berteriak. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia selalu pulang dengan keadaan marah dan suka memukul ibu. Saya berusia 5 tahun saat saya dan keempat saudara saya mengunjungi orang tua kami di sebuah kota kecil di Namibia. Kami tinggal bersama nenek di sebuah desa yang jauhnya sekitar 20 mil (35 kilometer), kami di sini hanya berlibur. Ibu sedang sibuk di dapur. Di punggungnya, dia menggendong adik laki-laki saya yang berusia 2 tahun, Tommy, terbungkus dengan kain gendong. Ayah tiri saya muncul di pintu dapur. “Kenapa makan malam belum siap?” Dia berteriak sembari menampar wajah ibu. Ibu, berteriak, berlari ke pintu belakang dan melarikan diri ke luar. Ayah tiri saya mengejar dengan sebuah stik besar di tangannya. Tiba-tiba, dia melempar stik itu ke arah ibu. Ibu mencoba menghindar, dan stik itu menghantam Tommy kecil. Saat tangisan Tommy pecah, ibu tersentak. “Kamu membunuh anakku!” dia menangis. Tetangga-tetangga yang bersimpati langsung mengelilinginya, dan seseorang menghubungi polisi. Petugas polisi memanggil ambulans. Mereka juga memborgol ayah tiri saya dan memenjarakannya. Di rumah sakit, Tommy menjalani operasi darurat karena tengkoraknya retak. Setelah itu, sambil menangis dokter mengatakan bahwa anak laki-laki ini sudah menderita kerusakan otak dan sisi kanan dari tubuhnya akan mengalami kelumpuhan. Ibu dan teman-teman keluarga saya yang ada di kamar rumah sakit menangis ketika mendengar kabar itu. Seorang pria mencoba mengatakan sesuatu dari sudut ruangan. “Bisakah kita berdoa?” dia berkata. Sambil mengangkat kedua tangannya, dia berdoa, “Bapaku yang di surga, saya bukan Elia. Saya juga tidak merasa lebih suci dari orang-orang yang ada di ruangan ini. Tetapi saya berdiri di sini berlindung di bawah kasih karunia Kristus. Perhatikanlah orang-orang ini. Dengarlah rintihan rasa sakit mereka yang begitu berat. Biarlah kehendak-Mu yang terjadi. Dalam nama Yesus Kristus saya berdoa, Amin.” Saat doa itu selesai ruangan menjadi hening. Saya merasakan kedamaian. Saya menyadari bahwa ada Tuhan di surga. Orang ini mengenal Tuhan. Dua minggu kemudian, Tommy kecil keluar dari rumah sakit. Seperti yang dikatakan dokter, dia mengalami kelumpuhan di sisi kanan tubuhnya. Dia juga kesulitan untuk berbicara. Selama berbulan-bulan, saya memikirkan tentang doa di rumah sakit itu. Saya ingin berbicara dengan Tuhan seperti cara itu. Setahun kemudian, ketika saya berusia 6 tahun, saya mulai pergi ke gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dengan seorang sepupu setiap hari Sabat. Selama saya mengikuti ibadah pada tahun itu, saya memperhatikan bahwa anggotaanggota gereja berdoa seperti pria yang di rumah sakit itu. Mereka kelihatannya mengenal Tuhan. Sementara itu, hidup Tommy dipenuhi dengan penderitaan. Suatu hari, ketika dia berusia 12 tahun dan saya berusia 15 tahun, kami duduk di bawah pohon sambil menunggu nenek menyajikan makan siang. Tiba-tiba, Tommy pingsan dan jatuh ke tanah. Ketika dia sadar, dia berteriak, “Saya sekarat!” Kemudian dia terdiam dan berhenti bernapas. Nenek dengan penuh ketakutan memanggil bantuan. Saya menangis tak tertahankan. Saya merasa sangat tidak berdaya. Lalu saya teringat pria yang pernah berdoa di rumah sakit waktu itu. Saya membutuhkan kedamaian. Doa saya singkat dan langsung pada intinya. “Saya masih muda,” kata saya. “Saya belum memiliki kekuatan untuk menanggung rasa sakit ini. Beri saya satu kesempatan lagi untuk bersiap menghadapi kematian Tommy.” Saat saya mengatakan, “Amin,” Tommy bersin. Dia bersin tiga kali, dan nenek berteriak, “Dia masih hidup!” Saya berterima kasih kepada Tuhan. Sepuluh tahun berlalu, saya pindah ke Windhoek, Ibu Kota Namibia, dan bergabung dengan gereja Advent, gereja senang berdoa yang anggotanya mengenal Tuhan. Suatu hari, saudara perempuan saya menelepon dan mengatakan bahwa Tommy sakit. Seketika saya mengingat doa saya yang sungguh itu dan berpikir, “Sudah waktunya. Waktu yang saya pinjam sudah selesai.” Saya naik bus dan melakukan perjalanan sejauh 745 mil (1.200 kilometer) ke ruang tempat tidur saudara laki-laki saya di rumah sakit. Dia sementara berjuang demi hidupnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Dia merasakan kedamaian. “Waktuku sudah datang,” katanya pada saya. “Aku sudah berdoa kepada Tuhan. Akan kutemui kamu di seberang sana. Tetap percaya kepada Tuhan.” Tiga hari kemudian, Tommy meninggal. Tetapi kata-katanya masih terngiang di telinga saya, “Akan kutemui kamu di seberang sana. Tetap percaya kepada Tuhan.” Saya diwisuda dengan gelar di bidang produksi radio dari sebuah universitas dan saat ini bekerja sebagai manajer stasiun Radio GMAHK di Namibia. Saya menantikan pertemuan dengan Tommy di seberang sana. Anda juga dapat menantikan pertemuan bersama orang-orang yang Anda kasihi. Sampai hari itu, tetaplah percaya kepada Tuhan! Terima kasih atas persembahan misi Anda untuk membantu memberitakan kabar baik bahwa Yesus akan segera datang di Namibia dan ke seluruh Divisi Afrika Selatan–Samudra Hindia 

Oleh Ocrhain Matengu.

Tips Cerita 
>Mintalah seorang pemuda untuk membagikan kisah dari orang-pertama ini. 
>Unduh foto-foto di Facebook: bit.ly/fb-mq. 
>Unduh Pos Misi dan Fakta Singkat dari Divisi Afrika Selatan–Samudra Hindia: bit. ly/sid-2022. >Dengan berbagi kisahnya, Ocrhain Matengu berharap dapat memenuhi Tujuan Pertumbuhan Kerohanian No. 5 dari rencana strategis Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh “I Will Go”, “Untuk pemuridan individu dan keluarga ke dalam kehidupan yang dipenuhi oleh roh.” Melalui pekerjaannya di Radio Dunia Advent, ia berusaha untuk memenuhi Tujuan Misi No. 4, “Untuk memperkuat institusi Advent hari-Ketujuh dalam menjunjung kebebasan, kesehatan holistik, dan pengharapan melalui Yesus, serta mengembalikan peta Allah dalam diri manusia.” Baca lebih lanjut tentang rencana strategis ini di situs web: IWillGo2020.org.

Pos Misi 
>Pekerjaan Advent pertama di Namibia dimulai pada tahun 1937 dan 1938 ketika J. van der Merwe mengadakan pertemuan penginjilan di Windhoek dan lima orang dibaptis. Tidak ada pekerjaan lebih lanjut yang dilakukan sampai tahun 1954 ketika Daerah Afrika Barat Daya diorganisasi dan J. J. Becker, satu-satunya pendeta yang tinggal di Afrika Barat Daya, diangkat menjadi presiden.  

Komentar