Saya Orang Mati, Bagian 1
S aya seharusnya tidak selamat dari tragedi jalan raya yang terjadi hanya dua hari sebelum Natal di Zimbabwe. Pada tanggal 23 Desember, istri saya, Fortunate dan saya meninggalkan Ibu Kota, Harare, untuk menghabiskan Natal bersama anak-anak kami di rumah kakeknenek mereka di kota yang lain. Sewaktu kami berkendara, kami melihat banyak orang berdiri di sepanjang jalan, mengangkat tangan dengan harapan agar mereka bisa mendapatkan tumpangan. Dengan segala kesibukan menjelang Natal, bus-bus penuh dan orang-orang mencari cara lain agar bisa pulang untuk berlibur.
Kami mengenali seorang wanita yang ada di pinggir jalan dan berhenti untuk memberinya tumpangan. Saat dia masuk ke mobil, seorang pria dan wanita juga memohon untuk diberikan tumpangan. Kami tidak mengenal mereka, tetapi karena melihat wajah kekhawatiran mereka, kami pun memperbolehkan. Tiga penumpang masuk ke mobil dan duduk di bagian belakang, dan kami berlima meneruskan perjalanan. Tiba-tiba semuanya menjadi hitam. Hal berikutnya yang saya ingat, sabuk pengaman saya sepertinya sangat kencang, Saya tidak bisa bergerak. Semuanya terlihat gelap. Saya mendengar beberapa bunyi, dan suara-suara samar dari jarak jauh. Saya menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Saya merasa mobil sementara diguncang. Hal selanjutnya yang saya dengar adalah suara raungan sirene ambulans atau mobil polisi. Beberapa saat kemudian, saya merasa tubuh saya di angkat keluar dari mobil dan dipindahkan ke ambulans. Seorang perawat bertanya kepada saya siapa yang harus dia hubungi.
“Apa yang terjadi?” Saya bertanya. “Terjadi kecelakaan,” katanya. Saya memberikan nama dari dua orang untuk dihubungi—seorang pendeta dan ketua jemaat. Di rumah sakit, pendeta tidak berbasa-basi. “Kami akan membawamu ke rumah sakit di Harare,” katanya. Dia bertanya kepada perawat tentang Fortunate, dan kami baru mengetahui bahwa sebuah truk pikap yang berkendara di belakang kami telah membawanya dan dua orang yang menumpang dengan kami ke rumah sakit yang lain. Dia mengalami perdarahan dalam yang parah. Pendeta meminta agar dia dibawa ke rumah sakit yang sama dengan saya. Dua ambulans dipersiapkan, dan Fortunate dan saya dibawa ke Harare. Hal terakhir yang saya ingat adalah ketika saya dibawa keluar dari rumah sakit. Selama dua hari berikutnya, pada tanggal 24 dan 25 Desember, saya dan Fortunate masing-masing menjalani tiga macam operasi. Istri saya mengalami cedera yang mengancam jiwa karena sabuk pengamannya merobek usus kecilnya.
Dokter mengangkat 16 inci (40 cm) usus kecilnya. Telapak tangan kiri dan kaki kirinya juga terluka parah, dan dokter memasang pin logam. Yang terjadi dengan saya, dokter memasang pelat logam di lengan kiri dan pin logam di kaki kanan saya. Operasi yang paling berat adalah operasi dislokasi tulang belakang . Dokter harus melakukan operasi melalui bagian depan leher saya untuk memasang implan pada tulang vertebra servikalis keempat dan kelima. Dia kemudian menunjukkan hasil rontgen ruas tulang belakang saya. “Anda bisa membawa hasil ini ke dokter mana pun di dunia dan dia akan memberi tahu apa yang akan saya katakan sekarang: Anda adalah orang mati,” katanya. “Hasil rontgen ini menunjukkan kepada kami bahwa seharusnya Anda sudah meninggal atau lumpuh dari bahu sampai ke bagian bawah.” Sekitar dua minggu kemudian, saya dan Fortunate diperbolehkan pulang untuk menjalani terapi fisik secara intensif. Kami menghabiskan enam minggu berikutnya untuk belajar bagaimana cara berjalan kembali. Kami baru saja mengetahui bahwa ada lima orang tewas dalam kecelakaan itu. Kecelakaan akibat tabrakan secara langsung. Mobil lainnya dikemudikan oleh seorang pemuda yang sedang mabuk dan melaju dengan kecepatan tinggi. Lalu kami melihat dua kendaraan yang rusak parah. Mobil-mobil itu serupa: keduanya Honda Fits merah.
Jarum spidometer mobil saya berhenti pada angka 55 mil per jam (90 kilometer per jam), sedangkan mobil yang satunya lagi berhenti di angka 105 mil per jam (170 kilometer per jam). Teman perempuan kami yang duduk di kursi belakang tewas di tempat, sedangkan dua orang asing yang kami berikan tumpangan meninggal pada hari berikutnya karena luka parah. Kendaraan yang menabrak kami membawa 3 penumpang. Dua dari mereka yaitu pengemudi yang mabuk dan seorang wanita tua yang duduk di depan di sampingnya, tewas seketika. Seorang pria yang duduk di belakang mobil itu dibawa ke rumah sakit, dan sampai saat ini kami tidak mengetahui apakah dia selamat atau tidak. Berita itu membuat Fortunate dan saya terkejut. Tuhan telah menyelamatkan hidup kami dengan cara yang luar biasa. Mukjizat tidak berhenti saat itu. Empat bulan kemudian, pada bulan April, saya sudah bisa mengikuti kelas pastoral di Universitas Solusi seperti yang telah saya rencanakan sebelumnya. Sebagian dari Persembahan Sabat Ketiga Belas tahun 2015 telah disalurkan pada Universitas Solusi untuk menggandakan ukuran bangunan kafetaria yang terbatas dari 500 menjadi 1.000 kursi. Terima kasih atas persembahan misi Anda yang telah menopang sekolah Advent seperti Solusi mempersiapkan banyak orang untuk mengabarkan kedatangan Yesus yang segera ke seluruh dunia. Baca kisah Alfred lebih lanjut Sabat depan.
Oleh Alfred C. Machona
Tips Cerita
> Mintalah seorang pria untuk membagikan kisah dari orangpertama ini.
> Tonton Alfred di YouTube: bit.ly/ Alfred-Machona.
> Unduh foto-foto di Facebook: bit. ly/fb-mq.
> Unduh Pos Misi dan Fakta Singkat Divisi Samudra Afrika-Hindia bagian Selatan: bit.ly/sid-2022.
> Cerita misi ini mengilustrasikan Tujuan Kepemimpinan No. 8 dari rencana strategis “Saya Akan Pergi” Gereja Masehi Advent hari-Ketujuh, “Untuk memperkuat peran pemuridan para pendeta, guru, dan pekerja garis depan lainnya serta menyediakan kesempatan pertumbuhan yang tetap bagi mereka.” Proyek Sabat Ketiga belas di Universitas Solusi mengilustrasikan Tujuan Misi No. 4, “Untuk memperkuat institusi Advent hari-Ketujuh dalam menjunjung kebebasan, kesehatan holistik, dan pengharapan melalui Yesus, serta mengembalikan peta Allah dalam diri manusia.” Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi situs web: IWillGo2020.org.
Fakta Singkat
> Telah dikenal secara lokal sebagai “Asap yang Bergemuruh,” Air Terjun Victoria terletak di perbatasan antara Zimbabwe dan Zambia dan merupakan air terjun terbesar di dunia.
Komentar
Posting Komentar