Seorang anak kelas delapan bernama Adrius meninggal dunia dalam tahun pertama saya mengajar di Mamawi Atosketan Native School, sebuah sekolah misi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh bagi anak-anak First Nations di Provinsi Alberta, Kanada.
Adrius berjuang untuk keluar dari kecanduan alkohol dan ia sedang keracunan alkohol ketika sebuah mobil menabraknya pada suatu malam ketika ia dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya merasa sangat takut saat pagi itu saat mendengar sekolah ditutup karena ada siswa yang meninggal Siswa kedua yang meninggal pada tahun kedua saya mengajar di sana, Francis Buffalo, memiliki tubuh seperti raksasa, tapi kepribadiannya lembut dan ramah, Ia sedang berbicara dengan beberapa orang teman di samping sebuah mobil yang diparkir ketika sebuah mobil yang melintas kehilangan kendali dan menghantam anak itu. Dua kematian itu membawa dampak besar bagi saya. Saya berusaha untuk menahan tangis di pemakaman mereka. Sebagai seorang guru, saya memiliki hubungan erat dengan anak-anak itu dan saya takut tak dapat berhenti bila saya mulai menangis. Seluruh tubuh saya terasa sakit, dan saya merasa akan meledak.
Setelah pemakaman itu, pertanyaan memenuhi benak saya. Saya bertanya-tanya apakah saya telah memberikan pengaruh baik untuk mereka. Apakah mereka melihat kasih Allah di sekolah? Apakah kami telah memberikan cukup ajaran sehingga mereka berteriak memohon pertolongan
Tuhan di saat-saat terakhir mereka?
Kematian mereka yang sangat dini mengingatkan saya setiap hari betapa saya ingin membawa anak-anak itu kepada Yesus. Saya ingin agar anak-anak itu memiliki hubungan dengan Yesus yang akan mengubah hidup mereka.
Sebagai seorang guru, saya tidak selalu dapat melihat hasilnya dalam waktu singkat, tetapi saya dapat menangkap sekilas terang yang memberikan harapan.
Pada suatu hari saya bergabung dengan ADRA dalam sebuah perjalanan misi untuk membangun sebuah panti asuhan di Mozambik. Saya memberitahukan siswa-siswa kelas tiga ke mana saya akan pergi dan apa yang akan saya lakukan. Saya mempersiapkan mereka untuk menemui guru pengganti.
Namun ada seorang siswi bernama Tiandra. Gadis kecil ini percaya bahwa saya akan meninggalkan kelas dan tidak akan kembali. Ia mulai bertingkah macam-macam dan akhirnya dibawa ke kantor kepala sekolah. Ketika kepala sekolah bertanya mengapa ia bertingkah demikian, ia menjawab, suaranya penuh gaya, "Pernahkah Anda mendengar apa yang disebut kecemasan karena perpisahan?"
Kepala sekolah sampai harus keluar dari kantornya sambil menahan tawa. Tiandra kecil terdengar gaya sekali menggunakan bahasa orang dewasa. Tetapi
Fakta Terkini> Berang-berang Amerika Utara adalah hewan nasional Kanada.
> Provinsi Alberta di Kanada bebas tikus selama 50 tahun.
> Seekor anak beruang bernama Winnipeg telah diekspor dari Kanada ke Kebun Binatang London pada tahun 1915. Di sana seorang anak bernama Christopher Robin Milne suka sekali mengunjungi Winnipeg, atau Winnie nama panggilannya. Kecintaannya pada Winnie itu menginspirasi kisah-kisah yang ditulis oleh ayahnya, A.A. Milne, tentang Winnie the Pooh.
Tiandra telah mengungkapkan hal itu dengan tepat, Ia menjadi bertingkah aneh karena dikiranya saya telah meninggalkannya.
Kami memang memiliki hubungan yang erat, dan baginya itu adalah hal yang sangat berharga sehingga ia merasa dicampakkan ketika saya tidak ada di sana.
Ketika kembali ke Kanada, saya beristirahat satu hari di rumah untuk menghilangkan pengaruh kelelahan. Kepala sekolah menelepon dan berkata: "Ada yang ingin berbicara dengan Anda."Lalu terdengar suara Tiandra di telepon. "Halo? Kapan Anda masuk kembali?""Besok,"
saya menjawab. "Oke" katanya. Dan begitulah. Segalanya pun berjalan dengan baik. Hubungan kami telah pulih. Semua guru memiliki hubungan dengan murid-murid mereka. Dan penting bagi anak-anak itu untuk datang ke sekolah setiap hari dan melihat wajah kami.
Tahun yang lalu, murid-murid kelas tiga itu terdiam ketika saya menceritakan tentang Yesus yang mati di kayu salib. Anda harus melihat paras tercengang mereka ketika mengetahui ada Seseorang yang begitu mengasihi mereka. Saya mengatakan kepada anak-anak itu bahwa lebih mudah bagi saya untuk mati bagi orang lain ketimbang menyerahkan nyawa anak saya. "Allah pasti sangat mengasihimu sehingga menyerahkan Anak-Nya yang tunggal," kata saya. Dan keheranan di wajah-wajah mungil itu. "Benarkah, Dia melakukan itu untuk saya?" Seorang anak bertanya.
Saya ingat seorang anak perempuan di kelas satu yang menghadapi gejolak di rumahnya karena kakak dan adiknya bergiliran masuk rumah perawatan. Adiknya yang bungsu diambil dari rumah, dan ibunya sedang berjuang untuk membawanya kembali. Anak kelas satu itu merasa sangat prihatin. Kemudian beberapa temannya mulai menggodanya. Pada suatu hari saya menemu-
kannya sedang menangis di luar kelas dan bertanya kepadanya apa yang terjadi. "Mereka mengatakan bahwa adikku sudah mati" katanya. Saya katakan apakah saya boleh berdoa bersamanya, dan ia mengangguk. Saya meraih tangannya dan berdoa untuk adiknya. Setelah itu, saya berkata: "la berada di dalam tangan Yesus.
Apakah kamu merasa lega?" Saat itu seolah-olah beban dunia terangkat dari bahunya, Ia pergi keluar dan dengan gembira bermain bersama anak-anak lainnya.
Sebagai guru, kami memiliki banyak peristiwa kecil seperti ini di mana kami dapat menunjukkan kepada mereka kasih Yesus. Saya ingin membawa murid-murid itu kepada Yesus. Saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk membawa seorang anak lebih dekat pada kekekalan.
Sebagian dari Persembahan Sabat Ketiga Belas triwulan ini akan membantu Mamawi Atosketan Native School mengembangkan programnya agar dapat mengajarkan lebih banyak anak-anak tentang Yesus. Terima kasih untuk persembahan Anda.
Oleh Darlene Thiessen, j seperti dikisahkan kepada Andrew McChesney. Saksikan Darlene di tautan: bit.ly/Darlene-Thiessen.
Komentar
Posting Komentar