Berita Mission 26 November 2016-Panggilan yang Tak Dapat Diabaikan


Saya lahir di Casa Blanca, Maroko pada tahun 1956, tahun yang sama saat negara itu merdeka dari Prancis. Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi Ortodoks. Kakek saya adalah seorang pengusaha pengekspor rempah-rempah yang sangat sukses.

Keluarga saya telah tinggal di Maroko selama hampir 500 tahun. Sebelum itu kami bagian dari kaum sefardim Yahudi—di Spanyol. Namun pada tahun 1492 Ratu Spanyol memutuskan bahwa orang Yahudi harus pindah menjadi Katolik atau keluar dari negara itu-dan mereka harus meninggalkan semua harta. Kebanyakan orang Yahudi meninggalkan Spanyol dan pergi ke Portugal, Belanda, Turki, Maroko, dan negara-negara lain di Afrika Utara. Nenek moyang saya pergi ke Maroko.

Saya berumur delapan tahun ketika orang tua saya memutuskan untuk meninggalkan Maroko. Karena tidak lagi aman bagi orang Yahudi untuk hidup di negara Muslim, semua kerabat saya secara progresif mulai meninggalkan negara itu. Beberapa pergi ke Kanada, yang lain ke Israel, tapi ayah saya lebih suka menuju ke Prancis.

Kami pindah ke Kota Marseilles pada tahun 1964, tapi ayah saya tidak bisa menemukan pekerjaan di sana, jadi kami pergi ke Paris di mana dia memulai toko pakaian laki-laki. Dia memulainya dengan menjual kaus dalam, pakaian dalam, dan kaus kaki. Kemudian berkembang lebih besar lagi sehingga dia mulai menjual kemeja pria, kemudian switer, dan pakaian-pakaian lainnya. Bisnis berjalan dengan baik sehingga ia membuka toko kedua.

Hidup di Villejuif

Ketika kami pertama kali tiba di Paris, rumah-rumah di sana jauh lebih mahal daripada di Maroko, jadi kami tinggal di pinggiran kota yang disebut Villejuif, yang berarti "Kota Yahudi." Ironisnya, pada saat itu tidak ada rumah ibadah, tidak ada sekolah kerabian, tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa tempat itu pernah menjadi kota Yahudi.

Saya mulai menghadiri sekolah umum di Villejuif ketika saya berusia 9 tahun. Saya hidup sebagai seorang Yahudi, tetapi pada saat yang sama, saya sangat liberal. Pada saat saya berusia 11 tahun, saya bisa pergi ke mana saja yang saya inginkan. Saya bebas untuk bepergian dengan para gadis dan melakukan apa pun yang ingin saya lakukan. Saya dapat mengadakan pesta dengan musik dan tarian. Saya bisa ke diskotik atau ke bioskop. Saya tidak pernah takut; keadaan masyarakat lebih aman dibandingkan dengan saat ini.

Pada tahun 1968 ada revolusi mahasiswa di jalan-jalan Paris. Semua universitas dan sekolah-sekolah ditutup. Presiden mengundurkan diri dan Itu sangat mengkhawatirkan. Semboyan mereka yang mengadakan revolusi ini adalah kebebasan—kemerdekaan. Hal ini memengaruhi semua masyarakat Prancis, dan itulah semangat orangtua saya saat itu.

Sebuah Sisi Keagamaan

Tapi ada juga sisi agama bagi keluarga saya—ayah saya berdoa setiap pagi, siang, dan malam. Dan ibadah buka Sabat adalah sangat penting. Pada Jumat malam saya harus berada di rumah untuk memulaikan hari Sabat saat itu kami harus beribadah di rumah dengan semua ritual Yahudi. Tetapi ada masalah karena kami tidak punya rumah ibadah.

Kami tinggal di sebuah penginapan kecil dengan tiga villa yang saling berhubungan—yang satu dimiliki oleh sepupu saya, yang kedua adalah milik dan keluarga saya, dan yang ketiga adalah milik dari seorang mahasiswa kerabian muda (yang kemudian menjadi seorang rabi besar di Prancis) beserta istrinya dan anak-anaknya.

Karena hanya kami tiga keluarga religius yang tinggal berdekatan, kami menyelenggarakan ibadah Sabat bersama-sama. Tempat itu telah menjadi rumah ibadah— pada hari Jumat malam, pada pagi hari Sabat, dan pada hari-hari raya Yahudi.

Kemudian sepupu saya memutuskan untuk pindah ke Israel. Jadi ayah saya meminta pemilik penginapan untuk mengatur vila di mana sepupu saya pernah tinggal untuk menjadi tempat berdoa. Dia setuju, jadi ayah saya mengelolanya menjadi seperti rumah ibadah. Kami bahkan memiliki hak istimewa untuk memiliki sebuah tabut dengan gulungan kitab Taurat. Dalam pikiran saya, tempat ini menjadi sangat suci karena kami menggunakan villa tersebut hanya sebagai tempat berdoa. Bagi saya. Tuhan sedang berdiam di dalam tabut di mana kitab Taurat itu berada.

Sebuah Doa yang Mendesak

Suatu hari saya sedang bermain dengan kakak saya dan saya menutup pintu rumah kami dengan sangat keras. Pintu ini sangat istimewa karena terbuat dari kayu dan di tengahnya di hiasi dengan kaca yang sangat indah—dan sangat mahal. Ketika saya membanting pintu, kaca indah tersebut hancur berserakan di lantai.

Saya sangat menyesal, dan saya takut terhadap apa yang akan ayah saya lakukan kepada saya karena ia memiliki temperamen yang keras. Saya takut saat dia pulang malam itu dan melihat apa yang telah saya lakukan.

Saya memutuskan untuk pergi ke rumah sebelah yaitu rumah ibadah—keluarga kami memiliki kunci-kuncinya. Saya pergi ke depan tabut, karena saya berpikir, Tuhan ada di sana. Saya berlutut di sana dan mulai berdoa:"Tuhan, saya percaya Engkau ada, tapi saya belum pernah menguji keberadaan-Mu. Sekarang saya ingin Engkau menunjukkan bahwa Engkau benar-benar ada. Engkau telah melihat apa yang terjadi di rumah saya. Engkau tahu bagaimana keadaan ayah saya yang mudah marah. Biarlah terjadi bahwa ketika ayah saya pulang malam ini, maka ia tidak akan mengatakan apa-apa ketika ia melihat pecahan kaca tersebut."

Saya yakin ini adalah sebuah doa yang mustahil. Dan kemudian saya menunggu malam tiba ketika ayah saya akan pulang.

(Bersambung).