Berita Mission 9 Juli 2016-IMAN DI ZONA PERANG (BAGIAN 1)


Catatan Editor: Berikut ini adalah cerita dari orang pertama, Pendeta Mark Mona, Ketua Greater Upper Nile Field di Sudan Selatan, berbagi pengalamannya berada di tengah-tengah perang saudara di Malakal, suatu kota di mana terletak kantor Greater Upper Nile Field. Untuk lebih lanjut tentang Malakal, termasuk gambar, kunjungi: http://bit.ly/Malakal.

Pada bulan Desember tahun 2013, saya meninggalkan Malakal untuk menghadiri Konferensi Alkitab di Rwanda yang diselenggarakan oleh Divisi Afrika Tengah-Timur. Sementara berada di sana, saya mendengar bahwa ada masalah di Juba. Pada tanggal 15 Desember selama pertemuan pemerintah, wakil presiden tidak sependapat dengan presiden. Pendukung mereka bentrok dan banyak orang tewas. Kemudian para pemberontak mulai berkelahi.


Pada tanggal 24 Desember pertempuran dimulai di kota kami yaitu Malakal Utara. Keluarga saya ada di sana; mereka harus tidur di bawah tempat tidur untuk melindungi diri dari baku tembak. Pemberontak menguasai setengah kota. Kemudian pemerintah datang dan mendorong pemberontak keluar. Akhirnya ada sedikit ketenangan dalam pertempuran itu.

Pulang ke Rumah

Saya tiba di Juba dan ingin pergi ke rumah untuk membantu istri dan tiga anak, berusia 10,7, dan 4 tahun untuk melarikan diri. Dengan pesawat PBB dari Juba ke Malakal, saya tiba pada hari

Pos Misi
-Sudan Selatan termasuk wilayah Divisi Afrika Tengah Timur (DATT) yang berdiri pada tahun 2015.
-Divisi Afrika Tengah Timur (DATT) mencakup tiga wilayah, termasuk Greater Bahr elGhazal Field, Greater Equatoria Field, dan Greater Upper Nile Field.
-Ada 59 gereja Advent di Sudan Selatan,dengan jumlah24.092 anggota.

Minggu, 13 Januari 2014. Kota ini sepi. Semua orang telah melarikan diri; pemberontak datang untuk mengepung kota. Beberapa melarikan diri ke arah lain dari Sungai Nil. Tidak ada kendaraan di sekitar kecuali beberapa kendaraan pemerintah. Bagaimanakah saya bisa pulang ke rumah?

Saya bertemu wali kota dan dia membawa saya bertemu dengan istri dan anak-anak saya, tetapi tidak ada cara untuk kami dapat melarikan diri. Keesokan harinya pemberontak tiba dan pada pukul 2.00 sore mereka telah kembali menguasai Malakal.

Istri saya, anak-anak dan saya meringkuk bersama di bawah tempat tidur kami selama tiga hari, memohon perlindungan Tuhan.

Kemudian pada Kamis sore. salah satu anggota gereja kami yang merupakan sesama suku dengan pemberontak, datang untuk memeriksa saya dan keluarga saya. Dia mengatakan kepada kami untuk pergi ke kompleks PBB, tapi kami menjelaskan bahwa kami tidak bisa pergi sendirian. Kami tidak tahu bahasa dari suku pemberontak tersebut.

Dia setuju untuk pergi dengan kami, mengawal kami melalui wilayah berbahaya. Ketika kami meninggalkan rumah kami, saya mengambil komputer saya dan beberapa pakaian, dan anak-anak mengambil beberapa barang. Setelah kami pergi, rumah kami dijarah—semuanya diambil.

Perampok dan Pembunuh

Lewat halaman kantor gereja, saya melihat para pemberontak menjarah kantor itu, mengambil peralatan, menghancurkan semua yang ada di dalam kantor itu, kemudian menghancurkan bangunan. Saya tidak bisa mengatakan apa-apa. Mereka memiliki senjata.

Malam itu kami tidur di rumah salah seorang dari suku pemberontak—Matthew B. Chol. Matthew yang memulai penanaman gereja Advent di tempat itu, dan putrinya mengawal kami ke tempat yang aman. Pada waktu malam saudara-saudara sesuku Matthew datang ke rumahnya,

menuntut supaya ia membawa kami keluar sehingga mereka bisa membunuh kami.Tetapi Matthew melindungi kami, ia mengatakan kepada para pemberontak,

"Jangan membunuh mereka-dia pendeta kami.?

Di pagi haji Matthew membawa mobil dan mengatakan kepada kami bahwa kami harus segera meninggalkan PBB Saat ia mengantar kami, kami melihat ada banyak mayat di sepanjang jalan dan. bersyukur kepada Tuhan bahwa Dia telah memelihara kehidupan kami.

(Bersambung)