Cerita selanjutnya: Setelah kehilangan seluruh keluarganya selama genosida, Pendeta Isaac dibawa ke sebuah kamp pengungsi di bagian utara Rwanda. Sementara di sana, ia mengorganisasikan gereja Advent.
Kami mengorganisasikan sebuah gereja dan kami bertemu sebagai suatu jemaat setiap hari Sabat. Meskipun kami berada sebagai pengungsi, siapa pun yang memiliki uang, terus memberikan persepuluhan dan persembahan sebagaimana yang mereka lakukan ketika masih di rumah.Terkadang orang-orang dari Uganda datang untuk mengunjungi dan memberi kami uang, dengan uang itu kami juga akan memberikan persepuluhan dan memberikan persembahan. Kami menyimpan perse
puluhan dengan aman sampai gereja di Rwanda dapat digunakan kembali, dan kami menggunakan persembahan untuk membantu mengobati orang yang terluka saat perang. Selain anggota Advent, banyak juga yang bukan Advent beribadah dengan kami setiap hari Sabat. Pada saat kami akan meninggalkan kamp pengungsi empat bulan kemudian, ada 300jiwa siap untuk dibaptis!
Setelah Genosida
Ketika genosida itu berakhir pada bulan Juli, saya kembali ke Kigali dan menemukan bahwa tidak ada gereja Advent yang beroperasi. Jadi saya pergi di seluruh kota, memohon terhadap anggota jemaat untuk kembali ke gereja. Perlahan-lahan, orang mulai kembali ke gereja, dan saya diminta untuk melayani sebagai ketua daerah selama dua tahun sampai saya ditempatkan kembali ke departemen penerbitan di Uni Rwanda. Lima tahun kemudian saya diberi undangan paling menantang yang pernah saya terima—apakah saya bersedia untuk kembali melayani sebagai ketua
Pos Misi
- Sebuah sekolah kedokteran baru sedang didirikan di Universitas Advent Afrika Tengah(UAAT)di Kigali, Rwanda.
- Persembahan Sabat Ketigabelas triwulan ini akan membantu untuk membangun asrama dan kantin untuk sekolah kedokteran baru diUAAT.
daerah termasuk tinggal di kompleks Mugonero di mana keluarga saya telah dibunuh? .
Saya berdoa tentang hal itu dan memutuskan untuk pergi. Ini akan menjadi pertama kalinya untuk kembali dan bekerja dengan orang yang telah membunuh keluarga saya. Jadi ketika saya kembali ke sana sendiri, saya tidak tahu harus berkata apa, jadi saya berdoa, "Tuhan membantu saya tiap memberi saya kekuatan dan kata-kata untuk disampaikan kepada orang ini"
Saya ingat suatu malam setelah saya tiba kembali di kabupaten ini, saya berdoa sepanjang malam meminta Tuhan untuk menuntun saya. Di pagi hari ketika saya pergi ke kantor, saya memiliki kesan sangat berbeda seperti ada yang mengatakan kepada saya: "Panggil orang berkumpul untuk rapat"
Saya berpikir bahwa jika saya telah kembali dan tidak memanggil orang untuk datang dekat dengan saya dan membuka hati saya untuk mereka, saya akan gagal sebagai
ketua daerah mereka. Saya pergi ke sana untuk bekerja, dan saya mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa saya harus melakukannya, saya tidak boleh gagal.
Membuka Hati Saya
Saya tahu bahwa jika saya tidak berbicara dengan mereka sejak awal, maka untuk selamanya mereka akan merasa terancam dengan kehadiran saya, jadi saya perlu untuk membuka hati saya kepada mereka untuk memberitahu mereka bahwa saya tidak punya masalah dengan siapa pun, dan bahwa semestinya begitu. Apa yang menjadi kesamaan kita adalah pekerjaan yang dipercayakan Yesus bagi kita untuk dilaksanakan—untuk memberitakan kabar baik. Saya ingin menunjukkan kepada mereka apa yang membawa kita sebagai orang percaya bersama-sama, bukan apa yang memisahkan kita.
Jadi saya mengadakan pertemuan akbar sedistrik pada Sabat pertama saya kembali, dan sebelum khotbah saya membuka hati saya kepada mereka.
"Uni Rwanda telah mengirim saya ke sini untuk memberitakan kabar baik, dan untuk memimpin konferens ini," saya berkata: "Saya tidak ingin ada yang memberitahu saya siapa yang membunuh keluarga saya. Saya bahkan tidak ingin Anda mengatakan kepada saya bahwa Anda adalah sahabat saya. Sahabat saya adalah orang yang mengasihi Allah dan yang mencintai pekerjaan Tuhan. Mari kita bekerja sama dalam semangat itu."
"Saya tinggal di sana selama tiga tahun dan kemudian dipanggil kembali ke Kigali untuk melayani sebagai Ketua Daerah Misi Tengah-Timur Rwanda (sekarang sudah menjadi konferens), di mana saya masih melayani sampai sekarang. Kami memuji Tuhan bahwa konferens kami telah berkembang dari
65.000 anggota gereja pada tahun 2004 menjadi lebih dari 110.000 anggota sekarang.
Tidak Ada Balas Dendam
Ayat Alkitab favorit saya adalah Yohanes 3:16—"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga la telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Jika Tuhan tidak mengasihi semua orang di dunia, saya akan pergi dan membunuh para pembunuh! Tetapi Tuhan mengasihi mereka, dan Dia memberi mereka waktu untuk bertobat.
Ketika saya berada di kamp pengungsi saat genosida terjadi, salah seorang wartawan datang untuk mewawancarai saya. Dia telah mendengar tentang bagaimana saya telah kehilangan seluruh keluarga saya dan bertanya kepada saya: "Apakah pendapat Anda tentang
balas dendam?"
Saya mengambil Alkitab saya dan membuka Ibrani 10:30-31: "Sebab kita mengenal Dia yang berkata:'Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan Dan lagi:'Tuhan akan menghakimi umat-Nya.'Ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup."
"Adalah peristiwa menakutkan ketika Tuhan akan datang dan menangkap Anda!" Kata saya. Wartawan kagum. Dia pikir saya akan membalas dendam, sebaliknya saya mengutip jawaban dari Alkitab. Ketika orang mengatakan hal-hal buruk tentang pembunuh, saya ingin mengingatkan mereka bahwa kita memiliki Tuhan yang begitu sabar terhadap kita. Dan Dia sangat sabar dengan semua orang. Dia tidak ingin ada yang binasa. Itulah satu-satunya hal yang dapat membantu seseorang melewati keadaan seperti itu. Kapan saja dan siapa pun datang kepada Allah dan meminta pengampunan, Allah akan mengampuni orang itu. Tidak ada dosa yang Allah tidak dapat ampuni. Kematian bukanlah sesuatu yang menakuktkan Allah. Ini bukan masalah besar bagi Allah.Tuhan memiliki solusi, bahkan pada hari ini.